ASSALAMU'ALAIKUM....SELAMAT DATANG DIBLOG KHAIRUL....

Selasa, Oktober 23, 2007

Hikmah Idul Fitri

Allahu Akbar....... Allahu Akbar........ Allahu Akbar.........
Dengan terdengarnya takbir dan tahmid, umat Islam melepaskan bulan Ramadan dan dengan takbir dan tahmid pula ia sambut 1 Syawal 1428 H. Mudah-mudahan pelepasan bulan Ramadan dan penyambutan bulan Syawal terpenuhi makna dan arti kedua peristiwa yang terjadi dalam suasana bergembira.


Selama bulan Ramadhan, jiwa, ruh, dan hati umat benar-benar telah terasah dengan amal-amal kebajikan, sehingga hati mereka yang merupakan wadah ketakwaan semakin terbuka lebar dan luas guna lebih mengembangkan dan meningkatkan kualitas takwa yang sudah diperoleh selama beribadah di bulan Ramadan, "Mereka itulah orang-orang yang telah diuji hati mereka oleh Allah untuk bertakwa" (QS [al-Hujurat] 49 : 3).

Idul Fithri bagi kaum wanita dan anak-anak ?

Sebagaimana halnya kamu pria, kaum wanita dan anak-anak pun disunnatkan menghadiri shalat 'Idul Fithri. Begitu pula halnya orang-orang tua, gadis-gadis perawan, wanita-wa nita haidh dan nifas. Seperti dilaporkan oleh Ummu Athiyah (HR. Bukhori - Muslim). Adalah Rasulullah SAW keluar bersama istri-istri dan putri-putrinya untuk melaksanakan shalat 'Idul Fithri dan mendengarkan khuthbah (HR. Ibnu Majah & Baihaqi dan Ibnu Abbas). Adapun untuk wanita haidh dan nifas, cukup mendengarkan khuthbah, tidak ikut shalat.

Idul fitri adalah hari kemenangan besar yang mengembalikan manusia pada fitrahnya (kesucianya) dimana jiwa kembali bersih karena dibasuh dengan ibadah, fitrah dan saling memaafkan. serta rezeki yang kita miliki telah dicuci pula dengan zakat.

Kembali kepada kesucian artinya dengan merayakan Idul Fitri ini kita mendeklarasikan kesucian kita dari berbagai dosa sebagai buah dari ibadah sepanjang bulan Ramadan. Pada Idul Fitri inilah, manusia yang taat pada takdir Allah meyakini tibanya kembali fitrah diri yang kerap diimajinasikan dengan ungkapan kala itu ba' terlahir kembali. Dan, bila kita bersedia menerima fitrah yang ada di hari besar ini serta menerjemahkan dengan pikiran dan bahasa sederhana, Idul Fitri merupakan momentum bagi manusia untuk langkah awal menuju kehidupan lebih baik.

Memang Idul Fitri bukanlah suatu yang akhir. Masih akan ada perjuangan yang harus dilalui sesudahnya. Seperti yang pernah diisyaratkan Rasulullah seusai perang Badr di akhir Ramadhan. Bahwa, dari perang kecil (Badr) masih ada perang yang lebih besar untuk menegakkan agama yang benar.

Beragama yang benar adalah nasihat menasihati, Sabda Rasul: Addinun Nashihhat, Arti nasehat bukan sekadar membimbing dengan kata-kata, tetapi menunjukkan serta mendukung segala kebajikan dengan amal perbuatan, sehingga pemberi nasihat mengantar orang yang dinasihati kepada suasana keterbukaan, tenggang rasa, serta insyaf bahwa kebutuhan manusia tidak dapat dipenuhi kecuali dengan bantuan orang lain.

Yang lebih penting, semoga saja tak cuma simbol yang melekat pada diri kita selepas puasa sebulan penuh ini. Segala aspek kehidupan yang lurus yang kita jalani selama Ramadhan ini hendaknya menjadi titik tolak untuk melangkah ke depan. Hal ini kita mulai dari diri kita sendiri, barulah kemudian ke jenjang yang lebih besar yakni saudara, keluarga, tetangga, hingga masyarakat luas.

Adapun mengenai perayaan Idul Fitri yang berbeda waktunya janganlah dijadikan perdebatan dan masalah besar.Sebaliknya, terimalah perbedaan itu sebagai rahmat dan tetap menjalin tali silaturahmi.

sumber : harian pagi makasar, indomedia, Aa Gym, tajuk online

Ketabahan Dalam Menghadapi Musibah

Ketabahan Dalam Menghadapi Musibah

Musibah bagaikan goresan warna-warni tinta yang melukisi kehidupan kita, Silih berganti datang, tak terpisah dari kehidupan kita. Begitulah adanya musibah, dan begitulah sunatullah yang berlaku, sebagaimana yang dinyatakan dalam firman-Nya:

''
Sungguh, Kami pasti akan mengujimu dengan sebagian dari rasa takut, lapar, serta kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan..''(Al-Baqarah:155).

Namun, bukanlah sikap yang bijak jika kita menyikapi setiap musibah yang datang dengan cara-cara jahiliyah, menangis meraung-raung, memaki diri dan orang lain, atau bahkan sumpah serapah yang tak sopan dan tak perlu. Sebab, semua itu tidak akan mengurangi kadar musibah, dan justru menambah berat beban perasaan kita sendiri. Apalagi jika disertai 'tuduhan' dan persangkaan buruk terhadap kehendak Allah.

Musibah kerap membuat seseorang frustasi, seakan dunia sudah berakhir, dan tak jarang berakhir dengan usaha bunuh diri, wal iyadzu billah. Stres dan depresi yang melanda, jika tak diiringi benteng iman yang kokoh, memang bisa melahirkan atraksi bunuh diri. Beberapa artis barat, yang notabene berlimpah materi, berakhir mengenaskan seperti ini.

Sebagai seorang muslim, yang merupakan taman tarbiyah bagi generasi penerus, sikap seperti itu tentunya perlu dibuang jauh-jauh dari kamus kehidupan. Maka, sabar menjadi perisai yang ampuh ketika menghadapi musibah. Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:

''...Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, 'Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un' (Sesungguhnya kita milik Allah dan sesungguhnya kepada-Nya kita kembali). Mereka itulah yang rnmendapat keberkahan yang sempurna dan rahmat dari Rabb mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk'' (Al-Baqarah: 155-157)

Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah, seorang ulama yang karya-karyanya banyak berbicara masalah hati, membahas lebih jauh terapi penghilang duka lara dalam buku beliau. Buku yang oleh penerbit dan penerjemahnya diberi judul 'Meredam Duka Saat Menghadapi Musibah' ini banyak memberikan kiat dan terapi agar kita terhibur dan tidak larut dalam kesedihan yang panjang.

Hal pertama yang patut kita sadari, sebagai terapi yang paling mujarab, adalah bahwa kita adalah milik Allah dan akan kembali kepada Allah, sebagaimana yang ditunjukkan dalam ayat di atas. Keyakinan tersebut mempunyai dua prinsip agung, yang jika seorang hamba benar-benar memahami kedua prinsip tersebut, maka ia akan terhibur dari musibah yang menimpanya. Ibnul Qoyyim menjabarkan dua prinsip tersebut sebagai berikut,

Pertama, bahwa seorang hamba beserta keluarga dan hartanya benar-benar merupakan milik Allah subhanahu wa ta'ala. Milik Allah itu telah diserahkan kepada hamba sebagai pinjaman, maka jika Allah mengambil kembali pinjaman itu darinya, kedudukannya seperti pemberi pinjaman yang mengambil barang yang dipinjam. Keluarga dan hartanya itu selalu berada di antara dua ketiadaan, yaitu ketiadaan sebelumnya dan ketiadaan sesudahnya. Kepemilikan hamba terhadapnya hanyalah kesenangan yang dipinjamkan dalam jangka waktu sementara. Hamba bukanlah yang mengadakannya dari ketiadaan, sehingga tidak bisa menjadi pemiliknya secara hakiki. Hamba juga tidak bisa menjaganya dari berbagai bencana setelah ia ada. Juga tidak bisa mengekalkan keberadaannya.

Jadi, seorang hamba sama sekali tidak memiliki pengaruh terhadapnya, tidak memiliki secara hakiki. Bahkan, ia hanya dapat menggunakannya dalam batas wewenang seperti seorang budak yang diperintah dan dilarang, bukan sesuka hatinya seperti wewenang seorang pemilik. Karena itu, seorang hamba tidak boleh melakukan tindakan terhadapnya kecuali sesuai dengan perintah Pemilik yang hakiki.

Kedua, tempat kembali seorang hamba adalah Allah, tuannya yang sejati. Ia pasti meninggalkan dunia di belakangnya dan menghadap kepada Rabbnya seorang diri, sebagaimana ketika pertama kali ia diciptakan-Nya, tanpa ditemani oleh keluarga, harta, atau kerabat, melainkan hanya ditemani oleh amal kebajikan dan amal kejahatan. Bila demikian asal muasal seorang hamba, apa yang ditinggalkannya dan akhir hidupnya, bagaimana ia bisa bergembira dengan sesuatu yang ada atau berduka atas sesuatu yang tiada? Jadi, berpikir tentang asal muasal dan akhir kehidupan, merupakan terapi paling mujarab terhadap penyakit ini.

Pemahaman lain yang perlu kita yakini adalah bahwa apa pun yang ditakdirkan menimpa kita, tidak mungkin untuk dihindari, sebaliknya apa pun yang tidak ditakdirkan terluput dari kita, tidak mungkin menimpa kita. Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:

''Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfudz) sebelum kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.'' (Al-Hadid: 22-23).

Beliau, Ibnul Qoyyim, juga memberikan terapi dan kiat lainnya untuk meringankan dan menghilangkan duka akibat musibah yang menimpa. Beliau juga mengetengahkan teladan Rasulullah dalam menghadapi kesulitan, kecemasan, dan kesedihan.

Kapasitas penulisnya, membuat anda tidak perlu ragu lagi untuk memiliki atau paling tidak membaca buku yang diterbitkan oleh Penerbit Al-Qawam setebal 92 halaman ini. Buku ini cukup tipis, dan dapat dibawa ketika anda bepergian, tentu saja untuk dibaca, direnungkan, dan terutama diamalkan isinya.

Semoga bermanfaat.